Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM*
Headlineislam.com – Dalam kepentingan
membangun sistem hukum Ketahanan Nasional dari adanya ancaman ekspansi ideologi
transnasional Syi’ah Iran, metode Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies),
lazim disingkat CLS, dapat digunakan untuk proses de-legitimasi terhadap doktrin
hukum imamah Syi’ah Iran yang telah terbentuk.
CLS memperkenalkan metode trashing,
deconstruction, dan genealogy.Trashing, adalah teknik
untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk.
Teknik trashing dilakukan untuk
menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi
yang meragukan.
Deconstruction adalah
membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran,
maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
Sedangkan genealogy adalah penggunaan
sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan
karena interpretasi sejarah kerap didominasi oleh mereka yang memiliki
kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat
konstruksi hukum.
Penggunaan ketiga metode CLS tersebut, secara singkat
dapat penulis jelaskan sebagai berikut.
Pertama, penolakan terhadap ajaran Syi’ah di berbagai
Negara lebih disebabkan dari persoalan doktrin imamah yang sangat fundamental
dalam ajaran (teologi) Syi’ah Iran dan dengannya melakukan ekspansi.
Menurut Syiah, imamah merupakan kelanjutan dari Nubuwah.
Pekembangan selanjutnya – pasca Revolusi Iran tahun 1979 – imamah telah resmi
menjadi ideologi Negara Iran. Para yuris Syiah kemudian membentuk kelembagaan
Wilayat al-Faqih yang didasari prinsip-prinsip imamah. Sedangkan menurut kaum
Sunni, doktrinimamah sebagai pemegang (otoritas) kekuasaan baik agama maupun
pemerintahan tidaklah dikenal.
Kedua, kaum Sunni hanya mengenal dan mengakui Khulafaur
Rasyidin sebagai kelanjutan pemerintahan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW,
bukan sistem imamah sebagaimana diklaim oleh kaum Syi’ah.
Di sinilah letak polarisasi antara Sunni dengan Syiah.
Imamah menurut Syiah telah ditentukan berdasarkan nash dantestament Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan kaum Sunni berargumen tidak ada penunjukkan yang tegas
menyangkut suksesor Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, kaum Sunni menyatakan bahwa kaum Syiah telah
mengeksploitasi masalah suksesi dengan klaim sepihak tentang imamah yang
menegasikan keberadaan khalifah penerus Nabi Muhamamad SAW.
Argumentasi kaum Sunni dalam menghadapi klaim sepihak
kaum Syi’ah sebenarnya telah menggunakan tiga metode yang diperkenalkan oleh
para pemikir CLS.
Pertama, kaum Sunni telah melakukan trashing dengan
mengatakan bahwa doktrin imamah bukanlah berasal dari nash maupun testament
Nabi Muhammad SAW, melainkan berasal dari para yuris Syiah pada masa
belakangan.
Kedua, kaum Sunni telah melakukan deconstruction terhadap
doktrin imamah dengan mengatakan bahwa doktrin imamah berseberangan secara prinsip
dengan ajaran Islam. Doktrin imamah hanya menguntungkan Negara Iran yang memang
secara resmi menganut ajaran Syiah. Oleh karenanya, doktrin imamah tidak
mungkin dapat diterapkan pada Negara yang menganut paham Ahlusunnah wal Jamaah.
Indonesia adalah salah satunya.
Ketiga, genealogy juga diterapkan oleh
kaum Sunni dengan mengungkapkan bahwa Negara Iran dengan banyak kasus telah
melakukan berbagai distorsi sejarah dengan mengusung doktrin imamah.
Kebangkitan Syiah pasca Revolusi tahun 1979 hingga saat ini cenderung
melahirkan konflik dan bahkan peperangan sebagaimana terjadi di berbagai Negara
Timur Tengah. Di Indonesia, konfik antar keduanya juga semakin menguat, baik
berupa ungkapan kebencian (hate speech) hingga tindakan anarkis yang lebih
disebabkan oleh provokasi kaum Syiah.
CLS menyatakan bahwa hukum adalah politik dan doktrin
hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya berpihak pada mereka yang memiliki
kekuatan (power) bukanlah tanpa dasar. Para eksponen CLS bermaksud untuk
melakukan dekonstruksi untuk dilanjutkan dengan suatu upaya untuk
mengkonstruksikannya kembali. Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di
sini berlangsung berdasarkan kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya penemuan
metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum.
Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak
yang selama ini kepentingannya tidak tertampilkan dan karena itu juga tidak
terbicarakan. Dalam proses dekonstruksi, hak dan kepentingan para pihak harus
dikontruksi ulang sebagai dua entitas yang interdependen. Tidaklah kontruksi
itu bertahan pada norma-norma bahwa hak dan kepentingan pihak yang satu berkedudukan
dominan, sedangkan kepentingan pihak yang lain terpandang sebagai wujud yang
dependen. CLS menekankan adanya suatu sistem yang peka dan responsif. Dengan
demikian, dekonstruksi yang dimaksudkan adalah sebagai bagian dari upaya
rekonstruksi yang positif.
Dalam upaya rekonstruksi guna membangun sistem hukum
Ketahanan Nasional dalam perspektif CLS, diperlukan adanya penafsiran ulang
tentang konsep Ketahanan Nasional. Konsep Ketahanan Nasional tidak memasukkan
bidang hukum sebagai salah satu gatranya. Selain itu, perihal antisipasi dan
penanggulangan terhadap ancaman nir-militer berupa ideologi transnasional Syiah
Iran juga belum menjadi perhatian pemerintah. Kenyataan yang terjadi
menunjukkan, Undang-Undang di bidang Pertahanan Negara belum mampu mengantisipasi
dan menanggulangi masuk dan berkembangnya ideologi transnasional yang merupakan
salah satu ancaman nir-militer. Dengan kata lain terjadi diskongruensi antara
das solen dan das sein.
Ideologi transnasional Syiah Iran masuk melalui penetrasi
atau infiltrasi budaya dan agama (transcendental).Perlu disampaikan disini
bahwa tidak ada suatu Negara di dunia ini yang mampu melahirkan ideologi yang
bersumber dari ajaran agama yang menyimpang. Tidak pula ada suatu Negara yang
berhasil melakukan ekspansi ideologi politik dan ajaran keagamaan secara
bersamaan ke berbagai Negara. Hanya satu-satunya Negara yang berhasil melakukan
itu, yakni Iran.
Ekspansi ideologi Syiah Iran ini sangat menggantungkan
dari kesetiaan para penganut ajaran Syiah, melalui penguatan ritual religius
dan ritual politik, yakni ritual Asyura dan Idhul Ghadir.
Konsep Ketahanan Nasional seyogyanya menampilkan hukum
sebagai salah satu gatra yang menjadi kekuatan untuk mengantisipasi dan
menanggulangi ancaman nir-militer dimaksud. Berbagai perkembangan konflik
antara Sunni dengan Syiah tidak bisa dilihat hanya dengan pendekatan keagamaan
belaka, namun juga harus dengan pendekatan Ketahanan Nasional.
Jika mengacu dengan pendekatan Kewaspadaan Nasional dalam
mendekati masalah, berarti kewaspadaan itu berkaitan dengan nasionalisme. Di
sisi lain, ekspansi ideologi Syiah yang mengusung imamah adalah melemahkan
nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka perlu diwujudkan Keamanan
Nasional yang kuat dalam suatu Negara.
Dengan mengacu kepada prinsip ini, maka Keamanan Nasional
yang kuat akan memberikan implikasi positif bagi Ketahanan Nasional. Ketahanan
Nasional yang tangguh mensyaratkan daya berlakunya yang dinamis. Sejalan dengan
ini ilmu pengetahuan (sains) juga bergerak dinamis. Sistem Ketahanan Nasional
yang tangguh haruslah mengacu kepada ideologi nasional, dengan kemampuannnya
untuk menyesuaikan pada keberlakuan lingkungan strategis, baik global, regional
maupun nasional.
Singkat kata, Ketahanan Nasional harus didukung oleh
kriminalisasi ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran. Tanpa adanya
kriminalisasi dimaksud, upaya pengembangan sitem Ketahanan Nasional menjadi
tidak berarti, hanya sia-sia belaka. Kita tentu tidak menginginkan, bagaimana
kelak jadinya bangsa dan Negara ini? Hanya waktulah yang akan menjawab.
[em/islampos/headlineislam.com]
* DR. H. Abdul Chair Ramadhan adalah Komisi Hukum
dan Perundang-Undangan MUI Pusat
No comments:
Post a Comment