✍ Oleh: Maaher At-Thuwailibi
Headlineislam.com - Tanda kecintaan kepada pemimpin, adalah dengan MENTAATINYA dalam segala hal yang ma’ruf dan mengingkarinya dari segala hal yang mungkar. demikian manhaj Ahlus Sunnah memberikan tuntunan dan panduan kepada kita dalam menyikapi pemimpin. Pemimpin yang beriman, shalih, dan adil WAJIB kita patuhi segala aturan dan kebijakannya selama tidak bertentangan dengan Al-Kitab & As-Sunnah. Namun sebaliknya, wajib kita ingkari dan kita kritisi jika kebijakan yang dibuatnya ternyata bertentangan dengan Al-Qur’an & As-Sunnah. Contoh pemimpin yang kebijakannya bertentangan dengan Syariat adalah, pemimpin yang merubah hukum-hukum Allah, pemimpin yang menghalalkan yang diharamkan Allah. misal: menghalalkan perjudian, khomr, zina, liwath dsb. Pemimpin yang zhalim dan diktator, pemimpin yang senantiasa mengkriminalisasi para Ulama, tokoh agama, dst. Nah ini mesti di ingkari, di kritisi, dan diperbaiki. Sebelum MURKA ALLAH DITURUNKAN KEPADA UMMAT INI DAN DIBERIKAN AZAB YANG SETIMPAL sebagaimana yang telah Allah turunkan atas ummat-ummat terdahulu.
Kata para penjilat, haram mengkritik atau menasehati pemimpin secara terang-terangan/terbuka; karena Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Fir’aun secara langsung dan menasehatinya dengan lemah lembut sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Thoha ayat 43-44:
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
lalu ayat ini dijadikan argumen oleh khalifah Umar Bin Abdil Aziz Rahimahullah saat beliau dikritik keras oleh seseorang. Sang Khalifah pun berkata: “Aku tidak sejahat Fir’aun, sedangkan Anda tidak sebaik Nabi Musa & Harun; tapi Musa dan Harun diperintah untuk menasehati Fir’aun dengan qaulan layyinan, kata-kata yang lembut”.
Argumen ini hanya mengkritik sikap kasar dalam menasehati pemimpin; bukan menghilangkan hak menasehati pemimpin itu sendiri. Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun, dan secara langsung maka lakukanlah. Namun kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata. Karena menasehati pemimpin dijamin sepenuhnya oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘Alaihi Sholawatu Wa Salam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “jihad apa yang paling utama yaa rasulallah?”
Beliau menjawab:
كلمة حق عند سلطان جائر
“Kalimat yang haq (benar) yang disampaikan di sisi pemimpin yang dzalim“.
(HR. Imam Nasa’i)
Uniknya, komplotan maffia berjubah “sunnah” pun datang menanamkan pemikiran sungsang mereka dengan bungkus “kajian ilmiah”. Kata mereka, tetap haram mengkritik pemimpin secara terbuka atau terang-terangan dengan alasan bahwa hadits ini terdapat lafadz عند سلطان (di sisi pemimpin) yang berarti mesti menyampaikannya secara langsung dihadapan pemimpin dan tidak boleh secara terbuka. INI MERUPAKAN SYUBHAT OPLOSAN YANG TELAH LAMA USANG DALAM SAMPAH PEMIKIRAN.
Adapun kita menyebut kejelekan pemimpin di forum, facebook, mimbar-mimbar, atau menyebarkan hal-hal yang tidak pantas tentang pribadi pemimpin atau bahkan mengajak melakukan pemberontakan dsb, maka ini bukanlah nasehat atau kritik, akan tetapi justru lebih kepada memprovokasi rakyat untuk melakukan hal-hal yang merusak dan membuat kekacauan dalam suatu negara, sehingga menimbulkan kerusakan dan pemberontakan yang tidak disyari’atkan dalam islam. manhaj ahlus sunmah mengingkari sikap yang demikian. Akan tetapi, bukan berarti menasehati atau mengkritik pemimpin secara terbuka itu HARAM atau TERLARANG, bahkan hal itu di syari’atkan bila kondisinya menuntut demikian, demi sampainya kebenaran dihadapannya (baik secara langsung atau tidak), serta tegakknya amar makruf nahi mungkar.
Kata Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin:
مناصحة الولاة، من الناس من يريد أن يأخذ بجانب من النصوص وهو إعلان النكير على ولاة الأمور، مهما تمخض عنه من المفاسد، ومنهم من يقول: لا يمكن أن نعلن مطلقاً، والواجب أن نناصح ولاة الأمور سراً كما جاء في النص الذي ذكره السائل، ونحن نقول: النصوص لا يكذب بعضها بعضاً، ولا يصادم بعضها بعضاً، فيكون الإنكار معلناً عند المصلحة، والمصلحة هي أن يزول الشر ويحل الخير، ويكون سراً إذا كان إعلان الإنكار لا يخدم المصلحة، لا يزول به الشر ولا يحل به الخير.
“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegang dengan sebagian dalil, yakni mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan kerusakan. Di sisi lain ada pula sebagian orang yang beranggapan bahwa mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya. Namun demikian, saya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Oleh karena itu, BOLEH MENGINGKARI PENGUASA SECARA TERBUKA BILA DI ANGGAP DAPAT MEWUJUDKAN MASLAHAT, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan boleh pula mengingkari secara tersembunyi atau rahasia bila hal itu dapat mewujudkan maslahat, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan”.l
(Liqa’ Al-Baabil-Maftuh)
Para ulama terdahulu dari kalangan Salafus Shalih berani mengingatkan penguasa yang berbuat salah. Tak jarang, karena enggan diajak kompromi maka mereka akhirnya berhadapan dengan SIKSAAN & PENJARA. Dan itu semua dihadapi dengan penuh ketegaran, diantaranya seperti Imam Ahmad Bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dll. Dengan menjaga jarak terhadap penguasa dan tetap berkata HAQ dihadapan para penguasa, para ulama tidak terbebani, demikian pula mereka tidak terbebani ketika harus melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada para penguasa. Bahkan kerap kali para ulama harus berhadapan dengan resiko yang besar ketika melakukan hal itu. akan tetapi, mereka tidak pernah gentar.
Menasehati atau mengkritik pemimpin dengan cara yang bijak (baik secara langsung atau tidak langsung) adalah kemuliaan dan keberanian. Adapun diam terhadap kemungkaran penguasa dengan alasan tidak boleh mengumbar aib penguasa di media umum adalah KEHINAAN dan CABANG KEMUNAFIKAN. Tidaklah dilakukan kecuali oleh para penjilat.
APAKAH MENGKRITIK PENGUASA SECARA TERBUKA TIDAK PERNAH DI CONTOHKAN PARA ULAMA DAN HAL ITU MERUPAKAN MANHAJ KHAWARIJ ??”
Jawabannya simple, pada tahun 83 Hijriyah, sebanyak 100.000 penduduk Bashrah dan Kuffah berkumpul melawan Khalifah Abdul Malik dan panglimanya yang bernama Hajjaj. Beberapa ulama turut serta dalam perlawanan ini, seperti : Imam Sa’id bin Jubair, Imam Asy-Sya’bi, Imam Hasan Al Bashri dan Muslim bin Yasar. Walau demikian,TIDAK ADA SATUPUN ULAMA YANG MENUDUH 100.000 PENDUDUK BASHROH DAN ULAMA-ULAMA DIATAS SEBAGAI “KHAWARIJ”.
Dalam kitab Al-Bidayah wa Nihayah dikisahkan bahwa Imam Ahmad bin Nasr Al-Khuza’i memberontak pada khalifah dimasanya sampai beliau terbunuh. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal mendengar kabar ini beliau bersedih dan berkata: “Semoga Allah merahmati beliau, sungguh beliau telah berjuang di jalan Allah”. Jadi, tidak semua yang memberontak penguasa adalah khawarij. Memberontak penguasa saja belum tentu menjadi “khawarij”, mesti dilihat dulu konteks kasusnya, apalagi hanya sekedar mengkritik dan menasehati penguasa secara terbuka.
Ulama pada masa Al-Hajjaj Bin Yusuf seperti Asy-Sya’bi, Imam An-Nakha’i, Imam Mujaahid dll mengkafirkan Al-Hajjaj sedangkan Hasan Al-Bashri, Anas Bin Malik dll tidak mengkafirkan Al-Hajjaj. Apakah Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Mujaahid divonis “khawarij” oleh Ulama-ulama lain di masanya? Jawabnya tidak.
Di dalam Kitab Al-Bidayah wa Nihayah disebutkan bahwasanya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu’anhu, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain Radhiyallahu’anhu dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 Hijriyah. Beliau juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan didalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain Radhiyallahu’anhu pada saat itu termasuk firqah sesat atau “khawarij”. Demikianlah cara yang dilakukan oleh Imam Husain Bin ‘Ali Radhiyallahu’anhu untuk mengoreksi dan mengkritisi kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah, walau ber-ujung pada pembantaian berdarah keluarga Ahlul Bait dan beliau gugur sebagai Syahid.
Semoga Allah membimbing pemimpin-pemimpin kita ke jalan yang lurus dan memberi petunjuk kepada kita semua baik rakyat maupun pemimpin, Allaahumma Aamiin... (fmt/headlineislam.com)
Socialize