Headlineislam.com - Adanya radikalisme di masyarakat, sejatinya disebabkan oleh satu hal yakni ketidakadilan yang dipertontonkan penguasa. Sehingga sangat keliru bila ada yang mengatakan radikalisme disebarkan oleh media-media Islam.
Demikian salah satu kesimpulan dalam Seminar "Peran Media Dakwah dalam Membendung Gerakan/Paham Radikal" yang digelar LPKN dan Radio Dakta di Kampus STMIK Bani Saleh, Bekasi, Kamis (27/04/2017).
Anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah Mustofa B Nahrawardaya mengungkapkan, berdasarkan hasil riset kecil-kecilan yang ia buat melalui polling di akun twitternya, ternyata warganet percaya media arusutama memiliki peran dominan dalam penyebaran radikalisme. Warganet justru tidak percaya bila radikalisme disebarkan oleh media-media Islam. Ini karena stigmatisasi terhadap Islam dengan istilah-istilah radikalisme dan semacamnya justru massif di media arusutama.
Sekretaris Umum Forum Jurnalis Muslim (Forjim) M. Shodiq Ramadhan sepakat dengan pernyataan Mustofa tersebut. Menurut dia, di era media sosial seperti saat ini, sangat mudah bagi masyarakat untuk menyandingkan berita yang saling bertolak belakang.
Shodiq mencontohkan sejumlah kasus yang dengan sangat telanjang dapat dibaca oleh masyarakat sebagai ketidakadilan, yakni kasus Iwan Bopeng, penangkapan Ustaz Al Khaththath dan vonis Dahlan Iskan.
DIa menjelaskan, dalam kasus Iwan Bopeng, Kabidhumas Polda Metro Jaya dalam satu pemberitaan mengatakan jika Iwan sudah minta maaf dan bertemu dengan Pangdam Jaya. Tetapi pada keesokan harinya, ketika wartawan melakukan konfirmasi ke pihak TNI, ternyata mendapat jawaban tidak ada pertemuan Pangdam Jaya dengan Iwan Bopeng.
![]() |
Dari kiri: Manajer Program DAKTA Dhany Wahab, Mustofa B Nahrawardaya dan Shodiq Ramadhan dalam seminar yang digelar LPKN dan Radio DAKTA, Kamis (27/04/2017) |
"Nah, dua berita yang saling bertentangan ini lalu disandingkan. Disebarluaskan di media sosial. Ketahuan kan siapa yang bohong?," ungkap Redaktur Pelaksana Suara Islam Online itu.
Contoh kedua, lagi-lagi terkait dengan sikap dan pernyataan polisi. Dalam kasus penangkapan Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al Khaththath, polisi menuduhnya akan melakukan makar dengan menduduki gedung DPR. Menurut Kabidhumas Polda Metro Jaya, massa akan memasuki gorong-gorong untuk sampaik ke Gedung DPR.
"Lalu media melakukan investigasi lapangan. Seperti apa gorong-gorong di sekitar gedung DPR. Ada yang sudah ditutup, ada yang mampet, dan lain-lain. Masyarakat kan akhirnya menertawakan pernyataan polisi," tandasnya.
Sementara untuk kasus Dahlan Iskan, Shodiq membandingkan tuntutan dan vonis yang diberikan majelis hakim dalam kasus Dahlan dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa dalam kasus penistaan agama oleh Ahok.
Dahlan Iskan divonis dua tahun penjara dan denda 100 juta, tanpa ada pertimbangan bahwa yang bersangkutan pernah mengabdi kepada negara selama 10 tahun tanpa mengambil gaji. Bahkan dalam kasus PT WU, justru Dahlan yang membantu BUMD tersebut dengan asetnya sendiri supaya maju. Sementara dalam kasus Ahok, dia hanya dituntut setahun penjara dengan dua tahun masa percobaan dengan salah satu pertimbangannya pernah berjasa membangun Jakarta.
"Kalau ketidkadilan seperti ini terus menerus dipertontonkan, ya inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi radikal terutama kelas menengah. Bukan hanya laki-laki, ibu-ibu pun sekarang gemas terhadap kondisi yang terjadi," kata dia. (si/headlineislam.com)