Headlineislam.com – Maka, tidak ada solusi yang
lebih pantas untuk permasalahan ini selain dengan menegakkan syariat jihad
(dalam definisi secara syar’i) yakni mengerahkan jerih payah dalam rangka
menegakkan kalimat Allah menjadi yang tertinggi, serta syari’at-Nya berkuasa di
muka bumi. Demi menepis segala kemungkinan yang dapat membahayakan serta
menimbulkan kerugian terhadap kaum muslimin, lebih-lebih terhadap agamanya.
Namun, jauh sebelum itu umat Islam
telah diperintahkan oleh Allah untuk bersiap siaga dengan mempersiapkan diri
terhadap musuh-musuhnya, karena bisa jadi pihak musuh melakukan penyerangan
secara mendadak tanpa mengenal waktu dan kondisi. Sebagaimana firman-Nya,
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ
مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ….
“Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya…” (Q.S Al-Anfal: 60)
Syaikh Dr Wahbah az-Zuhaili
seorang ulama kotemporer menjelaskan tentang ayat ini bahwa, “Allah
memerintahkan kaum mukminin agar mempersiapkan alat-alat peperangan yang sesuai
dengan zamannya dan melatih para pejuang hingga benar-benar matang. Sebab,
mereka adalah baju besinya (zirah) umat ini dan bentengnya yang paling kuat.”
Beliau melanjutkan, “Tujuan dari
persiapan itu adalah untuk mengintimidasi musuh Allah dan musuh kaum muslimin,
dari orang-orang kafir yang menampakkan permusuhan mereka, sebagaimana kaum
musyrikin Makkah di masa lalu. Juga, untuk mengintimidasi para sekutu musuh
yang bersembunyi. Baik kita mengetahuinya ataupun tidak, tapi Allah Sang Maha
Mengatahui Yang Gaib pasti mengetahui mereka. Termasuk di antaranya adalah
Yahudi dan orang-orang munafiq di masa lalu, serta siapa saja yang menampakkan
permusuhannya setelah itu seperti Persi, Romawi dan para pewaris mereka yang
tersebar di negara-negara dunia pada masa ini.” (Tafsir Al-Munir, hal.293-294).
Mencegah Lebih Baik Dari Pada
Mengobati
Para ulama dengan jerih payahnya
telah berhasil merangkum sebuah kaidah dari ayat di atas yaitu, الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ (Madharat itu
harus dihilangkan sebisa mungkin). Kaidah ini menjelaskan akan kewajiban mencegah adanya bahaya sebelum
kedatangannya. Dengan menggunakan segala prasarana yang tersedia beserta
kemungkinan-kemungkinan tertentu yang sekiranya mampu menghilangkan madharat
tersebut.
Kaidah ini juga selaras dengan
mashlahah mursalah dan siyasah syar’iyyah yaitu pada kategori ‘Mencegah itu
lebih baik dari pada mengobati’. Tentunya hal tersebut sesuai dengan kemampuan
individual. Sebab, pembebanan syariat Islam itu beriringan dengan adanya qudrah
(kemampuan) dalam pelaksanaannya. (Muhammad bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi
Idhahil Qawa’idil Fiqh al-Kuliyyah, hal.256).
Dengan kaidah ini, serangan musuh
adalah sebuah madharat yang harus dicegah sebelum kedatangannya. Maka,
pencegahan yang dilakukan adalah dengan i’dad sebagaimana penjelasan di atas,
yang dengannya serangan yang akan dilancarkan oleh pihak musuh kepada kaum
muslimin menjadi tercegah. Walaupun nantinya serangan tetap dilancarkan umat
telah siap menghadapinya, siap berjihad dalam rangka membela agama, umat serta
wilayah kaum muslimin.
Penyimpangan Makna Jihad Hakiki
Namun, hari ini telah populer di
kalangan sebagian kaum muslimin bahwa berperang melawan musuh adalah jihad yang
kecil (al-jihad al-ashghar), dan masih terdapat jihad lain yang lebih besar,
yaitu jihadun-nafs (jihad melawan hawa nafsu). Banyak di antara mereka yang
mendasarkan pendapat tadi pada hadis; “Kita telah kembali dari jihad yang kecil
menuju jihad yang besar,” ujar Nabi bersabda. Para sahabat bertanya: “Apakah
jihad yang besar itu?” “Yaitu jihad hati atau jihad hawa nafsu,” tegas Nabi.
Atas dasar hadits tersebut,
sebagian kalangan berupaya mengalihkan fokus kaum muslimin dari pentingnya
mengobarkan perlawanan dan bersiap-siaga perang, serta membulatkan tekad dan
mempersiapkan strategi jihad. Ditilik dari segi validitasnya, atsar tersebut
bukanlah hadits Nabi ﷺ. Terkait hal
ini, Ibnu Hajar al-Asqolani, seorang Amirul Mukminin fil Hadits, di dalam kitab
Tasdidul Qaus, menyatakan bahwa atsar tersebut sangat populer dalam lisan kaum
muslimin, akan tetapi itu adalah kata-kata Ibrahim bin ‘Ailah.
Menurut al-‘Iraqi dalam Takhrij
Ahaditsil Ihya’, atsar tersebut dikutib oleh al-Khatib al-Baghdadi melalui
sanad jalur Jabir. Menurut al-Khatib atsar tersebut, seandainya memang sahih
(bersumber dari Nabi), tidak berarti menafikan jihad dan siap-siaga perang,
karena umat Islam harus melindungi negeri mereka dan menangkis setiap agresi
kaum kafir; dan atsar ini tiada lain memiliki makna bahwa setiap muslim wajib
melawan hawa nafsunya sampai ia bisa bersikap ikhlas dalam setiap amalnya.
(Al-Maududi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Quthb, Penggetar Iman Di Medan Jihad,
alih bahasa: Mahmud Muchtarom, hal.131-132)
Kesimpulan
Yang namanya kebenaran akan
senantiasa dibuntuti oleh kebatilan. Setiap langkah pergerakannya selalu dalam
pengitaian para penghasung kebatilan. Mereka tidak akan pernah rela terhadap
ahlul Haq karena keimanannya. Mereka akan senantiasa membuat makar dan tipu
daya demi melenyapkan kebenaran dari muka bumi. Maka, walaupun secara mata
telanjang belum terlihat adanya penyerangan, bukan berarti kita bisa duduk
manis menjalani aktifitas kehidupan, tetap melakukan persiapan secara matang,
karena sedia payung sebelum hujan lebih baik dari pada mencari payung kala
diguyur hujan. (kt/headlineislam.com)