![]() |
Lambang Jam'iyyah Nahdhatul 'Ulama |
Oleh : Aji Setiawan*
Tepat sudah 93 tahun Nahdlatul Ulama yang
lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1347 H) perhitungan Qomariyah, Nahdlatoel
Oelama ternyata menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain
menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum
tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju
terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin).
Headlineislam.com – Kongres
Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima
di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk
memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam
di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis.
Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan
pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya
menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari
Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah dari kalangan
tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan
usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti
membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab,
termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut
nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006,
rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang
pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan
mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil
itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah
Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan
dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang
didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang
menjadi Jl.
Kalimas Udik).
Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31
Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di
kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren
besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite
Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh
Raja Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11).
Ketua HBNO
Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab
itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam
memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan
kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum
ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham
Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten
Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni:
”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan
“memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja
diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau
kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu,
Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua
Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois
Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga
memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah
(Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk
menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud.
Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat
dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya,
Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab
dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah
HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja sejarah
mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said berlangsung selama
3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan
Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan Gipo
lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia masih keturunan
keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan.
Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab
Saqifuddin, saqaf (pelindung) dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya,
Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang
pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul Latief Gipo.
H. Hasan Gipo yang berdarah Arab, merupakan
saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo
kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam kelaurga
yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo
sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Sebagai orang yang punya keturunan Arab,
Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan berkumis. Ia
dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian keturunan Hasan Gipo
kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik.
Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348
H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang
didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah
sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO
pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh).
Pemerintah Hindia Belanda baru merespon
permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat
Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga
berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa;
Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD
Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di
Universitas Leiden, Belanda.
Lambang NO
Lambang NO yang terdiri dari bola dunia
dilingkari tali jagad dan bintang sembilan ternyata diciptakan oleh KH. Ridlwan
Abdullah atas perintah KH Wahab Chasbullah. Kisah pembuatan lambang NO oleh
Kiai Ridlan melalui shalat istiharah dan isyarat mimpi.
Surabaya, 1927. Tepatnya hari Ahad, 9 Oktober 1927 M (12
Rabiu’Al-Tasani 1346 H), Muktamar ke-2 digelar. Sebagai organisasi yang berumur
dua tahun, NO perlu show of force. Setidaknya agar kehadiran organisasi yang
didirikan para ulama ini dapat dikenal oleh kalangan masyarakat luas. Acara
muktamar sengaja dibikin sedemikian semarak. Hotel Paneleh, tempat acara ditata
apik. Umbul-umbul dengan beraneka warna menghiasi dan memenuhi halaman hotel
yang luas.
Yang tak kalah menarik, sebuah vandel berukuran besar bergambar lambang NO terpasang tepat di pintu gerbang Hotel Paneleh. Lambang itu terlihat oleh siapa saja yang melewati Hotel Paleneh. Lambang itu masih asing karena pertama kali ditampilkan. Pejabat yang mewakili pemerintah Hindia Belanda pun dibuat penasaran, lantas ia bertanya kepada Bupati Surabaya, apa arti lambang itu. Karena tidak bisa menjawab, Bupati lantas bertanya kepada Ketua HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama), H. Hasan Gipo, sayang, dia pun tak bisa memberikan keterangan. H Gipo hanya menyampaikan bahwa lambang itu diciptakan oleh Kiai Ridwan.
Untuk menjawab teka-teki makna lambang NU tersebut,
dalam Muktamar ke-2 tersebut dibentuk majelis khusus guna menjelaskan dan
membahas arti lambang. Majelis tersebut diikuti oleh beberapa wakil dari
pemerintah dan para kiai. Tak ketinggalan, KH Hasjim Asj’ari juga secara aktif
mengikuti rapat dalam majelis itu dan KH R. Mohammad Adnan (Solo) sebagai
notulen rapat.
Sang pencipta lambang NO, KH Ridlwan
Abdullah, diminta memberikan presentasi untuk yang pertama kalinya. Kiai yang
biasanya banyak diam di forum-forum pertemuan kiai ini ternyata dengan lancar
dapat menjelaskan dan menguaraikan secara terperinci arti lambang yang telah
digambarnya. Padahal saat itu, Kiai Ridlwan tidak mempersiapkan presentasi,
karena diminta secara spontan. Walau serba mendadak, presentasi berjalan
lancar.
Dalam penjelasannya, Kiai Ridlwan menguraikan
bahwa, gambar tampar (tali) melambangkan agama sesuai dengan firman Allah:
“Berpegang teguhlah pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai.”(QS Ali Imran: 103).
“Posisi tali yang melingkari bumi
melambangkan ukhuwwah (persatuan) kaum Muslim seluruh dunia. Untaian tampar
berjumlah 99 buah melambangkan Asmaul Husna. Sedangkan bintang sembilan
melambangkan Wali Songo, di mana posisi bintang paling besar dan posisinya di
tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan empat bintang
kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin; dan empat
bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (Madzab Empat,
yakni Maliki, Hanafi, Hambali, Syafi’i).”
Belum selesai Kiai Ridwan melanjutkan
presentasinya, tiba-tiba KH R Mohammad Adnan telah memotong pembicara utama.
“Sudah! Cukup, Kiai Ridlwan!” sela Kiai R. Adnan yang menganggap keterangan
Kiai Ridlwan sudah cukup memuaskan. Kiai utusan dari Solo ini dengan tekun
mencatat secara lengkap semua ucapan dan uraian Kiai Ridlwan tersebut.
Walhasil, seluruh peserta majelis khusus bersepakat menerima lambang itu dan
membuat rekomendasi agar Muktamar ke-2 memutuskan lambang yang diciptakan oleh
Kiai Ridlwan tersebut secara resmi menjadi lambang NU.
Pada acara penutupan muktamar, Kiai Raden
Adnan tampil ke muka. Ia mencoba merumuskan yang telah diuraikan Kiai Ridlwan.
Gambar bola dunia atau bumi yang mengingatkan bahwa manusia itu berasal dari
tanah dan kembali ke tanah; akhirnya dikeluarkan lagi dari tanah pada yaumil
ba’ats (hari kiamat) [QS. At- Taubah: 5]
Dilingkari tali tersimpul yang melambangkan ukhuwwah atau persatuan kaum Muslim
seluruh dunia, diikat oleh agama Allah. [Q.S. Ali Imran: 103] dan ikatannya
melambangkan hablun minallah wa hablum minan nas [Q.S. Ali Imran: 112].
Dikelilingi sembilan bintang, lima bintang
terletak di atas garis khatulistiwa yang terbesar terletak di tengan atas,
sedangkan empat bintang terletal melingkar di bawah garis khatulistiwa. Bintang
besar melambangkan Nabi Muhammad, empat bintang di atas melambangkan empat
sahabat dan empat bintang di bawah melambangkan empat mazhab. Di samping itu
juga melambangkan Walisongo. Jadi Nabi, sahabat, imam mazhab, serta para
Walisongo yang akan memberikan sinar dan petunjuk ke jalan yang benar.
Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang
melintang dari sebelah kanan bola dunia atau sebelah kiri. Semua jenis lambang
tersebut dilatarbelakangi warna putih di atas warna hijau. Warna putih
melambangkan kesucian sementara warna hijau melambangkan kesuburan.
***
Usai penutupan Muktamar, sekitar jam tiga
dini hari, Hadhratusy Syaikh KH Hasjim Asj’ari memanggil Kiai Ridlwan. Tampaknya
Rois Akbar HBNO ini perlu menanyakan secara khusus asal dan proses pembuatan
lambang NO yang telah diciptakan dan dipasang arena Muktamar NO.
Kiai Ridlwan pun langsung berkisah. Dua bulan
menjelang Muktamar NO ke-2 dilangsungkan, ketua panitia Muktamar, KH Wahab
Chasbullah menjumpai dirinya di kediaman, Jl Kawatan, Surabaya. Pembicaraan
awalnya dimulai dari soal konsumsi Muktamar. Namun, akhirnya sampai ke tentang
lambang NO, sebab dari NO dilahirkan tahun 1926 belum punya lambang. Karena
Kiai Ridwan ketika itu sudah dikenal sebagai ulama yang punya keahlian melukis,
maka Kiai Wahab menyerahkan sepenuhnya tugas membuat lambang kepadanya.
“Pokoknya lambang tersebut harus sudah bisa
kita tampilkan di medan muktamar,” tegas KH Wahab.
Untuk menunaikan tugas dari Kiai Wahab itu,
KH Ridlwan merasa kesulitan dalam mencari inspirasi (ilham). Berulang-ulang
dibuat coretan-coretan sketsa, tetapi tidak ada yang mengena di hati. Ia
membuat gambar dasar sampai beberapa kali. Konon, untuk membuat gambar dasar itu sampai memakan satu setengah bulan.
Padahal waktu pelaksanaan Muktamar NO ke-2 sudah diambang pintu.
Dalam keadaan gelisah, tiba-tiba Kiai Wahab
datang menagih pesanannya. Dengan terus terang Kiai Ridlwan menjawab bahwa
sudah beberapa sketsa lambang NO dibuat, tapi masih belum ada yang mengena
(belum cocok) untuk sebuah lambang NO.
“Seminggu sebelum Muktamar, lambang dan
gambar itu sudah jadi lho,” desak Kiai Wahab yang tidak sabar lagi. Kiai
Ridlwan dengan penuh kesabaran menjawab, “in syaa Allah.”
Waktu untuk mendesain gambar baru sudah sedemikian sempit dan mendesak. Maka, untuk menemukan inspirasi itu, Kiai Ridlwan melaksanakan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Selepas shalat istikharah, Kiai Ridlwan tidur nyenyak. Dalam tidurnya itulah, ia bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Bentuknya mirip dengan gambar dan lambang NU seperti sekarang.
Waktu itu jam di dinding menunjukkan angka
02.00 dini hari. Setelah terbangun dari tidur, Kiai Ridlwan spontan meraih
kertas dan pena. Ia langsung membuat coretan sketsa, sambil mencoba mengingat-ingat
gambar yang dilihat dalam mimpinya.
Akhirnya sketsa gambar pun jadi. Hasilnya
mirip betul dengan gambar yang tampak dalam mimpinya. Pada pagi harinya, sketsa
yang masih kasar itu lantas disempurnakan dan diberi tulisan NO dari huruf Arab
dan Latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat dirampungkan dengan
sempurna. Maklumlah, Kiai Ridlwan memang dikenal sebagai pelukis yang berbakat.
Kesulitannya, adalah bagaimana dan di mana
bisa mendapatkan kain untuk lambang tersebut sebagai dekorasi di medan
muktamar. Beberapa toko kain di Surabaya sudah disambanginya, namun warna yang
dimaksud dalam mimpinya itu tidak ada yang cock. Akhirnya, Kiai Ridlwan mencoba
mencari kain berwarna hijau ke Malang. Di kota itu, ia menemukan, sayang
jumlahnya sangat sedikit, hanya tinggal berukuran 4-6 meter.
“Tak apalah,” kata Kiai Ridlwan. Kain hijau
itu pun dibeli dan dibawa ke Surabaya. Ukuran lambang Nahdlatul Ulama dibuat
memanjang ke bawah; lebar 4 meter dan panjang 6 meter, sesuai dengan bentuk
asli lambang sekarang.
KH Hasjim Asj’ari tampaknya puas dengan
penjelasan Kiai Ridlwan, yang menguraikan secara kronologis pembuatan gambar
itu. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya secara membaca doa cukup panjang.
Akhirnya, Hadhratusy Syaikh Hasjim Asj’ari berkata,”Muadah-mudahan Allah SWT
mengabulkan harapan yang dimaksud dalam simbol Nahdlatul Ulama.”
Sayang, vandel “pusaka” berukuran besar
berlambang NO itu kini tak ketahuan rimbanya. “Waktu PBNU boyongan dari Surabaya ke Jakarta (1956), vandel itu masih
ada. Di sini (kantor Surabaya-red) terawat baik, di simpan dalam sebuah lemari,
tak tahulah nasibnya sekarang,” kata Abdullah Ridlwan, salah seorang putra Kiai
Ridlwan. (***)
Daftar Pustaka:
1. Lihat alKisah,
No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72
2. Sumber:
Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah
Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11
3. Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926,
HBNO, Soerabaia, 1344 H
4. Besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral
(GD) Nomor I x.23.1930
5. Kiai Ridlwan Abdullah; Peran dan Teladan
Pelukis Lambang NU, 2015
--------------------------------
* Aji Setiawan adalah mantan Litbang PMII Cabang Yogyakarta
2000-2002. Lahir pada 1 October 1978. Bertempat di Cipawon, 6/1,
Bukateja, Central Java Purbalingga 53 382. NO Phone: 081229667400