Oleh: Harits Abu Ulya
Headlineislam.com – Dunia kembali
heboh, serangan teror di Paris menjadi topik terpanas disemua media. Serangan
yang mengakibatkan lebih dari 300 orang luka-luka dan 127 lebih tewas.
Pelakunya diketahui sebagian memegang paspor Mesir, Suriah, dan juga ada 4
pelaku lain teridentifikasi adalah warga negara Prancis sendiri. Tidak berapa
lama kemudian serangan tersebut di klaim oleh pihak IS-ISIS. Tentu dengan mudah
dan tidak perlu investigasi lebih jauh untuk menyimpulkan siapa dalang dan
jaringan dibalik teror ini.
Jujur, semua orang tidak suka dengan teror apalagi hidup
dalam kubangan teror. Kita bisa tanya kepada penduduk sipil Afghanistan, Iraq
atau bahkan hari ini mereka yang berada di Suriah. Masyarakat sipil
berhadapan dengan “state terrorism”dari rezim Bashar Assad ditambah
teror oleh koalasi negara-negara Barat dengan mengirimkan pasukan, senjata dan drone-drone
mereka.
Kalau mau obyektif kalkulasi akibat state terrorism
ini jauh lebih besar korban nyawa dan material dari apa yang terjadi di Paris
hari ini. Dan masyarakat sipil Barat khsususnya Paris Prancis kini merasakan
bahwa apapun bentuk teror dan terorisme itu kontra dengan kecondongan fitrah
manusia.
Dan jika mau obyektif, semua tidak bisa terima terorisme
baik yang dilakukan individu, kelompok maupun negara apalagi gabungan
negara-negara atas nama apapun.
Peristiwa serangan Paris bukanlah peristiwa
independen namun sebelumnya ada stimulan dan fariabel pelengkapnya.
Terorisme masih konstan sebagai fenomena komplek yang
lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti
kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi
politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial
yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global,
politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS) dan
sekutunya, imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam,
standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia
yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
Selain itu adalah adanya realitas kultural terkait
substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam
interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan
faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi,
akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Klaim dari pihak IS-ISIS atas serangan di Paris, jelas
bagi dunia Barat dengan mudah bisa menghakimi sebagai aksi terorisme produk
dari kelompok Islam. Tapi penting kiranya bagi kita secara kritis menghadirkan
pisau analisis framework rasional untuk mengeja tragedi Paris.
Metodologi ini mengkaji korelasi antara kasus terorisme
dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola
interaksi diantara keduanya.Dalam framework ini pelaku dan sasaran
diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis.
Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan
kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian
pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan
dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.
Dalam framework rasional berasumsi
kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan “teror”.Frame ini
mengharuskan evaluasi terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh
kedua belah pihak; pelaku dan sasaran. Sebagai catatan, resiko logis
penggunaan metodologi ini akan di anggap analisis yang obyektif dan rasional
atau dianggap sebagai simpatisan tindakan terorisme karena manganalisa secara
kritis sasaran terorisme, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.
Penggunaan framework rasional dinilai urgent
karena mampu menjawab dua hal penting; kondisi yang memunculkan dan kondisi
yang meredam terjadinya terorisme.
Belajar paska penyerangan WTC di AS yang disusul dengan
kampanye Global War on Terrorism, mereka fokus menuduh the evil
ediology sebagai penyebab terorisme namun abai pada faktor penyebab lain.
Akhirnya solusi yang digelar justru malahirkan spiral kekerasan yang tidak
berujung. “Teroris” dengan aksi terornya konfrontatif dengan teror oleh
kekuatan negara (state terrorism).
Hari ini kita juga menyaksikan konflik di kawasan Timur
Tengah tidak bisa di katakan steril dari campur tangan dunia Barat. Bahkan
mereka melanjutkan deklarasi Global War on Terrorismdengan memobilisasi
kekuatan koalisi negara-negara Barat konfrontasi langsung di Aghanistan, Iraq
dan terkini adalah Suriah.
Tindakan koalisi ini disambut dengan perlawanan dari berbagai
komponen di Suria yang memiliki beragam ideologi maupun kekuatan. Mengikuti
framework rasional secara konsisten kita bisa ambil kesimpulan kenapa
Paris-Prancis jadi sasaran target dari kelompok IS-ISIS?
Pilihan Prancis terlibat dalam konflik Suriah bersama
negara koalisi adalah jawabannya. Disamping Prancis menjadi negara terbuka yang
mengaminkan peluang munculnya tindakan yang melahirkan ketersinggungan yang
amat sangat terkait dimensi keyakinan.
Dari sini kita melihat benang merah bahwa
kasus Paris adalah analog kecil dari peristiwa runtuhnya WCT. Peristiwa
WTC bisa di anggap sebagai artikulasi penting dari akumulasi perlawanan
sporadis oleh kelompok Islam terhadap imperialisme Barat dan AS menjadi
representasi utamanya.
Begitu juga aksi Paris, bisa di anggap sebagai
representasi perlawanan di kandang musuh atas pilihannya terlibat konflik
berdarah di Suriah. Dan yang terjadi tidak bisa di negasikan korelasinya dengan
konteks perang dan bukan semata-mata terorisme.
Meski di sisi lain, target besar di balik serangan sangat
mungkin bukan sekedar “dendam” atau perlawanan atas Prancis, tapi menebar
serangan secara meluas untuk semua negara Barat yang tangan mereka
dianggap berdarah-darah di bumi Suriah. Sekaligus sebagai sinyal jawaban atas
apa yang terjadi di Suriah dan sekitarnya, berikut memancing semua
negara-negara Barat masuk terseret jauh dalam kubangan konflik Suriah
khususnya.
Bagaimana Indonesia harusnya bersikap atas peristiwa
teror di Paris kali ini? Apakah teror susulan akan muncul di tempat yang
berbeda?
Bagaimana potensi serangan tersebut terjadi di Indonesia?
Jika cermat melihat pola dan spirit dibalik aksi ini maka
aksi susulan sangat berpeluang terjadi khususnya konsisten diarahkan ke negara-negara
yang dianggap terlibat dan tangan mereka berdarah-darah di konflik Suriah
khususnya.
Respon pemerintah Indonesia harus proporsional, khususnya
instansi terkait tidak perlu berlebihan yang justru terkesan bisa menjadi
sumber kepanikan baru di Indonesia.
Serangan di Paris rasionalnya adalah negara tetangga
seperti Inggris atau negara koalisi yang terlibat perang di Suriah yang perlu
siaga untuk antisipasi kemungkinan serangan aksi susulan. Tereksposnya
kasus di Paris secara global resikonya melahirkan beragam sikap dan
akibat, ini tergantung sudut pandang masing-masing pihak.
Bagi element yang pro dengan aksi tentu peristiwa di
Paris menjadi inspirasi dan spirit baru bagi mereka dimanapun berada. Tapi
dalam konstek Indonesia level ancaman seperti serangan di Paris resonansinya
sangat rendah (minor).
Kenapa? Karena kemampuan untuk melakukan serangan terbuka
secara terkordinasi dan tidak kehendus oleh pihak aparat keamanan itu tidak
dimiliki atau belum dimiliki sel-sel kelompok yang selama ini dianggap terkait
jaringan IS-ISIS di Indonesia. Meski pernah ada eksperimen kecil-kecilan dan
sangat amatiran untuk melakukan serangan bom.
Prediksinya, Indonesia relatif kondusif dan aman dari
gangguan sejenis serangan di Paris Prancis. Para pengikut IS-ISIS dari
Indonesia lebih berhasrat untuk hijrah (pindah) ke Suria wilayah IS
daripada bertahan. Andaikan muncul ganguan itu potensial bisa jadi rembesan
dari wilayah timur Indonesia, di sana ada kelompok Santoso yang selama ini
dijadikan “icon” kelompok terorisme oleh Polri dan BNPT. Atau muncul dari lonewolf
yang terkondisikan oleh “siluman” untuk melakukan serangan dengan target di
balik itu mengais keuntungan dari proyek war on terrorism. Wallahu
a’lam bisshowab. [im/islampos/headlineislam.com]
No comments:
Post a Comment