Headlineislam.com – Dalam lingkungan saat ini, sulit
rasanya untuk menjaga diri dari berbagai kemaksiatan yang menyelimuti setiap
jengkal langkah kita. Walaupun bukan tidak bisa. Di antara usaha untuk menjaga
diri dari perbuatan maksiat adalah dengan menjaga mata kita atau penglihatan
kita dari hal-hal yang tidak diperbolehkan. Lalu bagaimana dengan memandang
lelaki bukan mahram bagi Muslimah, apakah boleh? Berikut penjelasannya
berdasarkan tulisan Yulian Purnama yang dimuat muslimah:
Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya”
(QS. An-Nuur: 31).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan makna ayat
ini: “Firman Allah Ta’ala (yang artinya) Katakanlah kepada wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya” maksudnya terhadap
hal-hal yang diharamkan oleh Allah untuk dilihat selain suami-suami mereka.
Oleh karena itu banyak para ulama yang berpendapat bahwa wanita tidak
diperbolehkan memandang lelaki yang bukan mahram dengan syahwat, demikian juga
jika tanpa syahwat hukum asalnya adalah haram. Kebanyakan para ulama berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi yaitu hadits Az
Zuhri dari Nabhan, pembantu Ummu Salamah, ia berkata bahwa Ummu Salamah pernah
berkata kepadanya:
أنها كانت عند رسول الله صلى
الله عليه وسلم وميمونة قالت: فبينما نحن عنده أقبل ابن أم مكتوم فدخل عليه، وذلك
بعدما أمرنا بالحجاب، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “احتجبا منه” فقلت يا
رسول الله: أليس هو أعمى لا يبصرنا ولا يعرفنا؟ فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: “أوعمياوان أنتما؟ ألستما تبصرانه
Ketika itu Ummu Salamah bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan Maimunah, lalu Ibnu Ummi Maktum hendak masuk ke
rumah. Itu terjadi setelah kami diperintahkan untuk berhijab (setelah turun
ayat hijab). Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Kalian
berdua hendaklah berhijab darinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Wahai Rasulullah,
bukankan Ibnu Ummi Maktum itu buta tidak melihat kami dan tidak mengenali
kami?’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Apakah
kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?’. At Tirmidzi berkata, hadits ini
hasan shahih”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
wanita boleh melihat lelaki non-mahram tanpa syahwat. Sebagaimana hadits yang
terdapat dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
جعل ينظر إلى الحبشة وهم يلعبون
بحرابهم يوم العيد في المسجد، وعائشة أم المؤمنين تنظر إليهم من ورائه، وهو يسترها
منهم حتى ملّت ورجعت
Rasulullah melihat orang-orang Habasyah sedang
bermain tombak di masjid pada hari Id. ‘Aisyah Ummul Mu’minin juga melihat
mereka dari balik tubuh Rasulullah. Rasulullah pun membentangkan sutrah agar
mereka tidak melihat ‘Aisyah, sampai akhirnya ‘Aisyah bosan dan enggan melihat
lagi” (Tafsir
Ibnu Katsir).
MEMANDANG LELAKI DENGAN SYAHWAT
Jumhur ulama berpendapat bahwa
jika seorang wanita memandang lelaki dengan syahwat, maka hukumnya haram.
Karena hal tersebut termasuk zina mata. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ
حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ
، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه
“Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa
pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi
dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan
adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan
berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya”
(HR. Al-Bukhari 6243).
Ibnu Bathal menjelaskan: “zina
mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama
dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan
adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina
nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut
zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).
Diantara bentuk memandang dengan
syahwat adalah memandang untuk menikmati ketampanan lelaki, atau kegagahannya,
atau bahkan lebih dari itu semisal memandang disertai fantasi-fantasi yang
tidak dihalalkan agama.
MEMANDANG LELAKI DENGAN TANPA SYAHWAT
Adapun jika wanita memandang
lelaki tanpa syahwat, para ulama berselisih pendapat dalam 4 pendapat:
1.
Wanita boleh memandang lelaki selain auratnya.
Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
2.
Wanita boleh memandang lelaki sebatas anggota
tubuh yang dibolehkan bagi lelaki untuk melihatnya pada para mahramnya.
Maksudnya, lelaki boleh melihat sebagian aurat mahramnya sebatas apa yang biasa
terlihat semisal kepala, rambut, leher, kaki, betis. Maka anggota tubuh inilah
yang boleh dilihat oleh seorang wanita terhadap lelaki yang bukan mahram. Ini
adalah pendapat Malikiyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah.
3.
Hukum wanita memandang lelaki sama seperti
lelaki memandang wanita. Artinya wanita tidak boleh memandang lelaki kecuali
pandangan yang tidak disengaja. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’iyyah dan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
4.
Wanita boleh memandang kedua tangan dan kaki
lelaki, makruh memandang wajah, dan haram memandang selain dari itu semua. Ini
adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beberapa ulama lain.
(lihat Mausu’ah
Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 40/355-358).
Yang rajih adalah pendapat pertama, wanita
dibolehkan memandang lelaki non-mahram selama bukan pada bagian tubuh yang
termasuk aurat. Diantara dalilnya adalah hadits yang dibawakan oleh Ibnu Katsir
di atas, bahwa RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam mengizinkan Aisyah radhiallahu’anha melihat
orang-orang Habasyah bermain tombak di masjid.
Para ulama juga berdalil
dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma,
suatu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallamberkhutbah
di hari Id, selesai berkhutbah beliau mendatangi kaum wanita;
فوعظهُنَّ وذكَّرَهُنَّ وأمرهُنَّ بالصدقةِ ، فرأيتُهُنَّ يُهْوِينَ
بأيديهِنَّ ، يَقْذِفْنَهُ في ثوبِ بلالٍ ، ثم انطلقَ هو وبلالٌ إلى بيتِهِ
“Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam menasehati dan mengingatkan para wanita dan
menyuruh mereka untuk bersedekah. Maka aku (Ibnu Abbas) melihat mereka
menjulurkan tangan mereka untuk melemparkan sedekah mereka kepada baju Bilal.
Kemudian Nabi pergi bersama Bilal ke rumahnya” (HR. Bukhari –
Muslim).
Dalam kisah ini para wanita
melihat Bilal dan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak
melarangnya. Dan
para ulama juga mengatakan bahwa secara logika jika wanita diharamkan melihat
lelaki yang bukan mahram tentu lelaki akan diperintahkan untuk berhijab sebagaimana
wanita.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsamin ditanya, “Apakah hukum wanita memandang laki-laki di televisi atau
memandang lelaki secara langsung ketika sedang berada di jalan?”. Beliau
menjawab: “Wanita memandang lelaki baik lewat televisi maupun secara langsung,
tidak lepas dari dua keadaan berikut:
1.
Memandang dengan syahwat dan memandang dalam
rangka bernikmat-nikmat (misalnya menikmati kegantengan lelaki yang dilihat,
pent.) ini hukumnya haram karena di dalamnya terdapat kerusakan dan fitnah
(bencana).
2.
Sekedar memandang, tanpa adanya syahwat dan
bukan ingin bernikmat-nikmat, maka ini tidak mengapa menurut pendapat yang
lebih tepat dari para ulama. Hukumnya boleh sebagaimana hadits yang terdapat di
Shahihain:
أن عائشة رضي الله عنها كانت تنظر إلى الحبشة وهم يلعبون ، وكان
النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يسترها عنهم
“Aisyah Radhiallahu’anha pernah melihat
orang-orang Habasyah bermain di masjid dan Nabi Shalallahu’alahi Wasallam membentangkan
sutrah agar mereka tidak melihat ‘Aisyah “.
Hadits ini menunjukkan bolehnya
hal tersebut.
Karena para wanita itu berjalan di
pasar-pasar dan melihat para lelaki walaupun mereka berhijab, sehingga mereka
bisa melihat para lelaki sedangkan para lelaki tidak bisa melihat mereka. Namun
syaratnya, tidak terdapat fitnah dan syahwat. Jika menimbulkan fitnah dan
syahwat maka haram, baik lewat televisi maupun secara langsung” (Majmu’
Fatawa Mar’ah Muslimah 2/973).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
menjelaskan, “Adapun pertanyaan mengenai wanita yang memandang lelaki
tanpa syahwat dan tanpa bernikmat-nikmat, sebatas apa yang di atas pusar dan di
bawah paha, ini tidak mengapa. Karena NabiShallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan ‘Aisyah melihat
orang-orang Habasyah. Karena para wanita itu selalu pergi ke pasar yang di
dalamnya ada lelaki dan wanita. Mereka juga shalat di masjid bersama para
lelaki sehingga bisa melihat para lelaki. Semua ini hukumnya boleh. Kecuali
mengkhususkan diri dalam memandang sehingga terkadang menimbulkan fitnah atau
syahwat atau berlezat-lezat, yang demikian barulah terlarang. Adapun pandangan
yang sifatnya umum, tanpa syahwat dan tanpa berlezat-lezat tidak khawatir
terjadi fitnah, maka tidak mengapa. Sebagaimana engkau tahu para wanita
dibolehkan shalat di masjid dan mereka dibiarkan keluar ke pasar-pasar memenuhi
kebutuhan mereka” (Sumber:https://www.binbaz.org.sa/mat/11044).
YANG LEBIH UTAMA TETAP MENUNDUKKAN PANDANGAN
Jika kita telah mengetahui bahwa
seorang wanita Muslimah boleh memandang lelaki yang bukan mahram jika tanpa
syahwat dan sebatas anggota tubuh yang bukan aurat, bukan berarti wanita
Muslimah dapat bermudah-mudah memandangi para lelaki. Karena pembahasan di atas
adalah mengenai boleh-tidaknya memandang lelaki yang bukan mahram. Adapun yang
lebih baik dan lebih utama, adalah tetap menundukkan pandangan. Karena hal
tersebut termasuk hal yang dianjurkan dalam ayat:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya”
(QS. An-Nuur: 31).
Juga mengamalkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
استَحْيُوا من اللهِ حقَّ الحياءِ
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya
malu!” (HR. At Tirmidzi 2458, ia berkata: “hasan”).
Selain itu, lebih dapat menjaga
kesucian hati dan lebih wara’. An-Nusafi dalam Tafsir-nya menyatakan:
وغض بصرها من الأجانب أصلا أولى
بها وإنما قدم غض الابصار على حفظ الفروج لأن النظر بريد الزنا ورائد الفجور فبذر
الهوى طموح العين
“Jika wanita menundukkan
pandangannya terhadap lelaki yang bukan mahram itu lebih utama. Karena
didahulukannya penyebutan ‘menjaga pandandan’ daripada ‘menjaga farji’ karena
pendangan itu surat menuju zina dan pemicu syahwat pada farji. Bibit hawa nafsu
adalah mata yang berambisi”.
Wallahu a’lam bis shawab.
Artikel: Muslimahzone